Sabtu, 31 Desember 2016

Tidak Perlu Ada Catatan Akhir Tahun atau Resolusi Tahun Baru



Oleh : Abd. Latif Azzam (*)

Ketika memasuki penghujung 2016 ini atau menginjak tahun baru di 2017, mulai bermunculan tulisan atau media yang bertajuk "Kaleidoskop 2016 atau Resolusi 2017". Tulisan itu biasanya menampilkan kenangan selama setahun yang lalu atau harapan menyambut tahun baru. Seperti misalnya TV One yang memberitakan kenangan kriminalitas yang diraih Indonesia selama tahun 2016. Atau di Kompas TV yang juga menyajikan kenangan selama tahun 2016, dan semua media televisi yang seakan mengembalikan memori ingatan kita akan semua kejadian yang disorot media selama satu tahun yang telah berlalu. Sampai Koran Kompas pun edisi 31 Desember 2016 terpampang di sampul depan,  "Semangat Sambut Tahun Baru".

Selain menyediakan harapan dan kenangan, tidak jarang yang menyajikan antrean panjang di tempat-tempat wisata di penghujung tahun ini, wajar, karena di akhir tahun ada hari natal yang berdekatan dengan tahun baru di kalender. Sehingga membuat perasaan seluruh manusia di jagat raya menjadi baru, atau memiliki semangat baru. Karena merasakan kemeriahan tahun baru itu, tak jarang yang meluapkannya dengan liburan baik bersama keluarga ataupun mantan. Padahal, sesungguhnya Liburan akhir tahun itu bukanlah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh seluruh manusia untuk menyambut tahun baru. Sama sekali tidak sama dengan kewajiban berpuasa bagi umat Islam

Perayaan tahun baru itu tentu sangatlah tidak penting, apalagi perayaanya dilakukan bersama pacar, ditempat sepi, di pojoan wisata atau pantai, bermesraan, atau bahkan dilanjutkan tidur bersama di hotel atau di kontrakan. Sungguh jika tahun baru seperti itu, maka saya juga sepakat tidak ada perayaan tahun baru. Perayaan tahun baru lagi lagi bukanlah sebuah kewajiban dan hal yang tidak penting. Kalau memang mau liburan, di hari-hari yang lain selama satu tahun lebih banyak kesempatan untuk berlibur. Tapi kenapa harus tahun baru. Apakah tidak sah liburan dihari yang lain yang jauh dari tahun baru. Memang,  di akhir tahun ini cukup banyak tanggal merah dan kesempatan untuk berlibur, tetapi tidak menafikan bahwa di hari yang lain juga terdapat banyak kesempatan untuk berlibur, bahkan lebih lama dari kesempatan berlibur di awal tahun.

Masyarakat kita seringkali bermazhab "ikut-ikutan". Temannya liburan, ikutan liburan, temannya natalan, ikutan natalan, temannya mencuri, ikutan mencuri, temannya pacaran, malah gengsi tidak punya pacar, temannya nge-sex, juga ikutan nge-sex. Atasannya korupsi, bawaannya ikutan korupsi, tetangganya beli mobil, tak jarang yang harus berhutang untuk mengikuti tetangganya beli mobil. Yang lain berlibur, semuanya juga ikutan berlibur.  Padahal sekali lagi liburan awal tahun itu tidak wajib dan bukan seperti sholat yang wajib dilakukan. Itu adalah dampak dari Masyarakat kita yang sudah positif bermazhab "ikut-ikutan".

Merayakan tahun baru bukanlah dengan meramaikan pantai dan tempat wisata. Tetapi jauh daripada itu, tahun baru haruslah menuai harapan untuk menjadi manusia lebih baik lagi. Walaupun harapan itu tidak harus menunggu tahun baru, setiap hari kita juga berhak memiliki harapan menjadi manusia lebih baik. Tidak perlu ada perayaan tahun baru, jikalau korupsi masih terus dilakukan. Tidak perlu ada perayaan tahun baru, jikalau kepedulian kepada sesama masih berkurang. Tidak perlu ada perayaan tahun baru, jikalau dosa-dosa tahun lalu masih dilanjutkan. Maka perlu sadar dan tahu diri untuk merubah perayaan tahun baru menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih produktif dan tidak selalu bermazhab "ikut-ikutan". Sehingga kalau perayaan tahun baru masih diisi dengan kegiatan yang kurang bermanfaat. Saya usulkan kepada para akademisi, penulis, kolumnis, pengamat media, dan praktisi pendidikan untuk tidak lagi membuat tulisan bertajuk "Kaleidoskop Akhir Tahun atau Resolusi Tahun Baru". Karena saya tidak tega ketika tulisan itu dijadikan kipas angin atau bungkus kacang kulit.

Komisariat IAIN Jember,  31/12

(*) Mahasiswa Tuhan