Selasa, 20 Desember 2016

PROFESI BARU SANG DEWAN


“Katanya, dewan pun bisa jadi guru. Betul sekali, itu sangat bisa..!!! tapi, profesinya guru kok rasanya seperti sales rokok, selalu mempromosikan sesuatu..? (hikayat_jalan yang sesat dari sang dewan/sang dewan di jalan yang sesat)”
Teringat pribahasa madura yang arif dan bijaksana “jhelenna jeleni, lakona lakoni”, redaksinya menuntun kita agar tepat dalam melangkah dan tidak ketamakan dalam mengambil peran,  sehingga arah kedholiman berada jauh 100 KM dari sikap kita. Sangat signifikan sekali dalam memilih pola sikap dalam melangkah yang linier dengan potensi dan profesinya. Bagi mandor, sangat goblok sekali melihat kuli bangunan yang mengatur dan memerintah antar pekerja, sebab itu tugas mandor. Bagi arsitektur, bila melihat mandor mendesain dan mengkonstruk bangunan, khalayak kehidupan air yang mendiam diri di atas daun tales. Sebab profesi mandor hanya memproduksi/mereproduksi aneka perlengkapan yang dibutuhkan dalam membentuk bangunan. Bila terjadi demikian, mungkin si arsitek menggerutkan dahi sembari berkata; “siapa ellohhhh..??”.
sudah sekian juta fenomena yang miris terjadi di depan mata kita, banyak orang kolot yang sok pintar dan sok cendikiawan. sudah sekian banyak bibit-bibit prematur yang mengakar dan berambisi bersinggah di podium tertinggi, padahal sosoknya tak pasti layak menyandang posisinya. Sudah seribu mubaligh yang bijaksana, dan pijakannya tak serupa dengan ucapannya. Bangsawan menjadi kejih, priyayi yang berpolotisasi, PNS yang turut menjadi tim sukses, para dewan dan guru menjadi sales dengan upaya berkoar-koar mempromosikan produksi lembaganya dengan melirik keburukan lembaga orang lain. Tipu daya macam apa ini..!!!.  Itulah kedholiman yang terjadi, tanpa kita sadari telah berkeliling di sekitar kita. Tergelar tindak tanduk dari profesi manusia yang keluar batas “over lap”.
Semua insiden itu, telah menjadi sampel yang mengajak saya untuk mendongeng kejadian serupa  dalam kampusku. Tempat belajar yang menarik  untuk di ceritakan menjadi dongen dongeng pengantar tidur. Terkadang saya menghayal tentang sesuatu di kampus, andai bisa berandai-andai..!!! bila kedholiman dan kepincangan tidak terjadi di kampus saya, mungkin dongeng saya, menjadi dongeng bersejarah bagi kampus-kampus yang lain. Tapi, semua ini hanyalah bayang-banyang semo saja, hanya bisa di poles menjadi fiksi belaka yang relative penuh dengan sekenario buta. Mengapa demikian..???, silahkan anda cermati rekayasa yang dimainkan oleh dosen-dosen yang hobi melakukan komesialisasi pendidikan, dengan tuntutan untuk membeli suatu karya bila ingin lulus matakuliahnya, murahan sekali dosen yang seperti ini..!!!, mungkin, terlalu banyak ide-ide cemerlang untuk di jadikan metode pembelajaran yang baik. Tapi, pola ini tidak bisa menjamin mahasiswa benar-benar membaca karya itu secara tuntas. Dan bagi mahasiswa, sistem ini menjadikan dirinya berkata jujur akan keburukannya, dia berkata jujur terhadap orang tuanya, bahwa anakmu ingin membeli buku ibu..!!!, namun, buku itu hanya di jadikan musium sejarah yang di pajang dalam alemari miliknya, agar supaya, kelak setelah menjadi ayah, dia bisa berdongeng kepada buah hatinya di malam hari, yang terbaring di pangkuannya dan mengelus kepalanya, sembari berkata, “nak,..,.ayah tidak mau anakku memiliki cita-cita menjadi dosen. Karna, dosen ayah dulu mengajarkan ayah berbohong kepada kakekmu”.
Terkadang, sekecil apapun hiruk pikuk yang terjdi. Mahasiswa cendrung acuh tak acuh menaggapinya, tanpa meilihat Penyakit ini akan membengkak, sehingga kita kewalahan mencari penawarnya. Virus yang dialami kampus akan merembet kebagian yang lain, dan akan menggrogoti citra baik kampus secara perlahan, halus, mulus, pelan, sampai kita enggan mengaku rumah kita sendiri. Perlahan mahasiswa akan dihantui kegelisahan, keambiguan, kemuakan, melihat keholiman-kedholiman yang serupa, semacam penyalah gunaan peran sebagai dosen menjadi aktor lain, bak roda yang berjalan mundur untuk mengejar tujuannya di depan. Bila dosen idealnya mengajar mata kuliah, di IAIN Jember, kutemukan dosen rasa sales, yang selalu mempromosikan produk lembaganya dan melirik keburukan lembaga orang lain. Yaaaaaahhhhhhh, tak jauh beda dengan sales rokok yang berkoar-koar kepada konsumen dan berkata”lebih terasa ini nikamatnya mas”.
Entah benarkah ini salah faham, atau faham ku yang salah. namun tak hanya kepalaku saja yang menyaksikan kejanggalan ini, maka niscaya bagi kalian yang tak percaya tatkala ingin menelisiknya kembali, siap-siap termangap-mangap dan menganggukkan kepala sembari berkata (hikayat ini membuatku malu melihat penampilan sitopeng di panggung nyata dan aku ingin berteriak ”tidak-tidak, itu tidakmungkin beliau” akal ku dilanda kenafian, kekecewaan, keambiguan, kejadian ini menjadi antidot yang akan membuatku selalu skeptis dari mulut-mulut yang sok manis, dan penampilan-penampilan si sorban yang sok suci dan berwibawa.).
Pertama ku temui dia, ku anggap beliau seorang yang alim, shaleh, dan bijak sana. Kepercayaan ku bertambah dengan ketundukan para kerabatku, dan para pimpinan yang menghadiakan jabatan tinggi untuknya, dia menjadi ”dewan kampus - waww hebat”, entah, memang layakkah atau di sebabkan oleh sebab-sebab yang lain.!!! Beliau juga sekaligus guruku yang selalu memotifasi anak didiknya. Dari langkahnya ketika berjalan, beraroma wibawa, khalayak pangeran antasari yang datang menarik perhatian, mengundang jumawa dan membuat prajurit yang bersinggah di emper kelas berdiri seketika. Seakan-akan ada ikatan mistis saja. Sering beliau bertutur, “bagi kalian yang tidak kerasan di fakultas ini, sebenarnya kalian tersesat di jalan yang benar” sangat indah bukan,... ? lantas redaksi itu menggelitik fikiran saya, sahaya pun berfikir; ketika sahaya tersesat di jalan yang benar, saya rasa mustahil perkataan itu menganggap salah yang lainnya, lantaran kecongka’an akalku di tutupi oleh  keindahan yang di milikinya.
 Muarah kasih terpancar sinar diwajahnya, merdu suaranya membisik telinga berupa kalam-kalam yang menuntun ke arah kebenaran, seolah olah dia sosok nabi yang berkeliaran di sekitar kita. Penyaksian ini sering di dapat oleh mahasiswa di bangku perkuliahan. Dia dewan ku, dia guruku, dialah sosok yang berprofesi menjadi dosen, namanya mewarnai atmosfer kampus. Namun, tak jarang sifat kelalapan dalam berperan beliau over lap, tak sepantasnya beliau lakukan. Suatu ketika, pertama aku mengikuti perkuliahannya, sekilas mata menatap, orang ini shaleh, alim, berkarismatik, dengan gaya peci hitam yang tertungku di atas jidad, dan menyisakan sebagian helayan rambut dikepalanya, cara melangkahnya penuh filosofi ketawaddu’an dan kesopanan yang tinggi. Saat itu aku berkata, taksalah beliau diangkat menjadi guru dari mahasiswa, dosen yang bertipekal yang tegas, lantang, samapai menarik perhatian mahsiswa. Aku, yang berdiam di pojok kelas, fokus mendengarkan dengan tangan yang memangku dagu,mataku menyoroti wajahnya dan terpaku diam menatap kebi’an bibirnya yang sangat teliti dalam mendikti para mahasiwa. Dalam mengajar, ilmu yang di sampaikan tertata rapi, intonasi, artikulasinya jelas. Para siswa termanagap, tersebar virus-virus cendikianya dalam organ tubuh, pori-pori berjoget ria, darah mengalir deras, tubuh yang malas menjadi semangat dan fress seketika, mahasiswa terhipnotis, beliau seperti nabi yang bersabda di atas  mimbar, yang di simak para sahabat-sahabat nabi.
Di tengah perkuliahan terdengar statment janggal yang terucap. Seketika itu pula waktu serasa terdiam, ungkapannya membuatku enggan mengikuti perkuliahan ini lagi, menyulap, meniadakan pujian pujian ku ke padanya sepanjang perjumpaanku dengannya, tak ada lagi kewibawaan dalam dirinya, kuhapus bersih sucinya kalam itu seusai dia melintas keluar dari profesi dewan dan dosen. Ku kata, Ini bukan perkuliahan lagi, kelas ini seperti toko tempat para seles mempromosikan barang jualannya, dan mendiskriminasikan oknum yang lainnya. Semacam mata kuliah semi-semi komersial, apa maksudnya berucap lembaga ini baik, dengan  membenarkan sistem yang di sajikannya, dan sistem yang tak serupa di kebiri ini dan itu. bulsyit bukan..?? apakah itu salah satu dari bagian bahan mata kulia,,,?? Atau merupakan tuntutan barometer dari kompetensi dasar matakuiahnya. Hanya profesor tolol bila merumuskan silabus yang demikian.
Terkadang langkah konyol tak terkontrol, namun itu kelalaian yang hanya beberapa kali terjadi dan tak akan terulang lagi, bila berkali-kali bukanlah ketidak sengajaan, tapi kebiasaan yang mendarah daging, tak nyaman bila tak dilakukan. Membiasakan dan istikomah dalam beraktifitas yang sesuai tuntutan profesinya memang sulit di rasa. Tapi berusaha menuntun dan menjadi tontonan bagi dirinya dan khalayak keramiaan yang berpijak sesuai ucapannya, sangat sulit di cerna oleh kita, sebab akal yang terkonstruk baik dengan bungkus materil yang mulya, mendikti arti dan definisi baik untuk dirinya. berbeda dengan wacana para kaum intlek yang berkata ” kalok katanya ke katanya, saya juga bisa katanya ke katanya”. Kata teman ku dia alim, dan teman ku kata temannya pun demikian. Benar alimkah dia bagi kita..??? bila tidak, kau katakan pada temanmu agar temanmu berkata; bagi temanku, katanya dia tidak demikian, kau telah menyesatkan kita dengan membeberkan kebenaran yang salah darinya.
Satu pesan dariku untuknya “jhelenna jheleni, lakona lakoni_sebab, Pribahasa itu mjadi sampel yang telah mendikti, menuntun, dan mengajari kita untuk menghindar dari sifat kelalapan”
Kalian Tak Terima, Ku Kata..??
Kutunggu karyamu...!!!
Ku Tunggu Tanggapanmu.!!!
(M.FSA).