Pergeseran nilai yang terjadi di internal PMII mulai dirasakan dan secara tidak sadar diakui oleh sebagian besar anggota PMII. Kehilangan rasa cinta untuk membuka lembar-lembar buku pengetahuan sudah semakin merambat kepada seluruh kader. Kekeringan nalar agar tetap kritis terhadap keadaan bukan lagi menjadi bagian penting untuk diwaspadai. Pengayaan kajian melalui diskusi-diskusi non formal mulai memudar seiring pudarnya pesona wajah mantan bagi mahasiswa yang sengaja memperpanjang barisan para mantan dan seketika merasa bangga ketika teman-temannya mengecap playboy atas perbuatan bodohnya.
Hilangnya perbuatan-perbuatan ideologis dan produktif oleh anggota PMII berjalan seiring dengan semakin murahnya handphone ber-mega pixel tinggi. Mereka lebih bangga ber-selfie dengan buku-buku mereka di warung kopi dari pada menghatamkan satu buku dalam kesendirian nya. Semakin maraknya warung yang menyediakan WiFi tanpa batas disadari atau tidak telah mengubah kehidupan dan peradaban intelektual di internal PMII. Walaupun kalau dilihat dari sisi ekonomi sangat membantu dalam mengentaskan kemiskinan yang menjadi harapan oleh seluruh lapisan masyarakat. Ketidakmampuan nya mengendalikan dan memanfaatkan fasilitas di warung itu telah mengubah tradisi intelektual yang seharusnya tetap terpatri di benak anggota PMII bagi mereka yang masih merasa menjadi kader yang akan bertransformasi menjadi lebih baik.
PMII sebagai komunitas ideologis yang berbasis kaum tradisionalis-radikal, harus mampu menjawab tantangan-tantangan zaman atas sekian banyak problematika masyarakat. Beban moral yang diemban oleh anggota PMII tidak hanya dimanifestasikan saat kegiatan-kegiatan formal berlangsung, dan bukan dengan mapannya jas biru dan kopyah yang dipakai. Amanah yang diembankan PMII harus selalu direfleksikan dengan penguatan basis keilmuan, perubahan-perubahan sosial, perlawanan atas segala bentuk penindasan, dan pembelaan kepada rakyat yang lemah dari kuatnya serangan politik penguasa.
Kenyataannya, banyak anggota PMII yang hanya bangga tatkala menyandang status Anggota tanpa ada perubahan yang dilakukan. Tempat ngopi yang sering mereka singgahi sudah keluar dari khittoh yang sebenarnya. Bukan menjadi tempat untuk diskusi dan transformasi nilai pengetahuan, tetapi justru mereka bungkam dan diam merdeka dengan gadget di tangannya. Kehilangan teman di meja yang sama dan menghabiskan waktu dengan sia-sia ternyata sudah menjadi kesadaran bersama.
Pergeseran selanjutnya terjadi ketika di PMII semakin sulit membedakan antara kepentingan ideologis dengan kepentingan politik, antara kaderisasi intelektual dengan kaderisasi hormonal, dan benturan antara kajian intelektual produktif dengan kajian perselangkangan transformatif. Hal itu membuat PMII semakin buta terhadap penyikapan isu-isu gerakan sosial. Eksploitasi pertambangan, kepedulian kepada persoalan lingkungan, pengawalan terhadap kebijakan pemerintah, pengadvokasian kepada masyarakat buta huruf, pendampingan anak-anak jalanan, kepedulian terhadap masyarakat yang tertimpa bencana alam, dan aksi sosial membawa suara dan harapan rakyat kecil mulai tenggelam di tengah selangkangan pacar dan selirnya. Konflik percintaan lebih sering ditemukan daripada konflik gagasan ideologis, dan mengikuti saluran BBM lebih sering dilakukan daripada mengikuti berita dan isu-isu nasional saat ini.
PR bagi penyandang anggota yang berideologi kan Ahlussunah wal Jamaah masih banyak dan menumpuk di depan mata. Selain persoalan agama dan NKRI, gerakan PMII haruslah masif di berbagai sudut persoalan bangsa. Jika tradisi-tradisi dan budaya yang dilakukan masih banyak yang menghilangkan nalar kritis dari sekedar baca-tulis, tentu ini bagian dari refleksi organisasi yang harus sama-sama diperbaiki mulai dari struktur ke kultur dan dari senior ke junior.
Persoalan dan anomali gerakan PMII ini haruslah segera diatasi. Mengabdi dan berproses di PMII karena semata-mata ingin melakukan transformasi sosial bukan kepentingan politik belaka. Belajar dan mengkader di PMII murni karena ingin mencerdaskan anak bangsa, bukan mempersunting anak bangsa, atau mempermainkan putri-putri bangsa. Mengaji di PMII karena semata-mata ingin mentradisikan budaya baca tulis, bukan untuk like dan share foto-foto romantis. Dan semoga PMII mampu mencetak kader-kader yang bisa membawa perubahan lebih baik bagi bangsa dan negara serta selalu menyebarkan benih-benih Aswaja ditengah peliknya politik atas nama agama yang akan mengancam keutuhan bangsa.
Rayon Ushuluddin, 28/12. 03:40.Azz